Kata Kiai Hasan Abd Wafie; “Biarkanlah saya NU saja, wirid-wiridnya, wirid NU saja,”

    Kata Kiai Hasan Abd Wafie; “Biarkanlah saya NU saja, wirid-wiridnya, wirid NU saja,”

    PROBOLINGGO - Kiai Hasan Abd. Wafi Lahir di Pamekasan Madura dengan nama Lora Abd. Wafi, sebutan lora adalah panggilan masyarakat Madura kepada putra kiai atau tokoh masyarakat. Ia adalah putra bungsu dari enam bersaudara dari pasangan Kiai Miftahul Arifin dan Nyai. Lathifah, seorang keluarga yang diketahui cukup salih dan mencintai ilmu agama.Lahir dari keluarga yang mencintai ilmu agama, Lora Abd. Wafi mendapatkan pendidikan dasar-dasar agama seperti ilmu gramatikal bahasa arab, fikih, akidah dan tasawuf langsung dari ayahandanya. Ketika usia masih sangat dini, Lora Abd. Wafi harus menghadapi fakta hidup yang amat keras. Ibundanya, Nyai Lathifah wafat ketika ia masih usia enam tahun. Masih reda kesedihan atas kepergian sang ibu, lima tahun berikutnya, ayah sekaligus guru pertamanya juga pergi kepangkuan Allah Swt.Banyak aktifitas perjuangan dilakukan Kiai Hasan Abd Wafie. Selain mengamalkan ilmunya di Pesantren Nurul Jadid, KH. Hasan Abdul Wafi juga berjuang di organisasi Nahdlatul Ulama (NU). Di Organisasi yang didirikan oleh Hadratus Syaikh KH. Hasyim Asy’ari ini, beliau berangkat bersama dengan saudara iparnya, KH. Abdul Wahid Zaini, SH. Hingga kemudian Kiai Hasan dipercaya sebagai ketua syuriah PCNU Kraksaan dalam dua periode. Sementara Kiai Wahid, setelah menjadi ketua tanfidziah PCNU Kraksaan, beliau diangkat menjadi pengurus PWNU hingga PBNU. Sebagai ketua syuriah PCNU Kraksaan, Kiai Hasan merupakan orang yang disiplin. Jika datang ke kantor, beliau sering datang terlebih dahulu. Ini sangat berpengaruh besar, terutama terhadap dinamika dalam tubuh NU. 

    Selain itu, Kiai Hasan juga dikenal sebagai ulama yang berani menyampaikan amar makruf-nahi mungkar, walau amat pahit untuk disampaikan. Beliau tidak segan untuk marah terhadap seseorang jika orang tersebut melanggar syari’at. Meski demikian, amarah beliau cepat mereda, setelah menyampaikan apa yang menjadi unek-uneknya tentang sesuatu yang dianggap menyimpang dari ajaran agama. Selama hidupnya, di kediaman Kiai Hasan tidak terdapat TV. Meski demikian, beliau tidak buta akan informasi. Ini dibuktikan dengan adanya surat kabar yang begitu menumpuk di kediamannya. Sehingga beliau terkenal dengan sosok ulama yang selalu mengikuti informasi yang up to date. Akan kegemarannya ini, tak jarang pengurus PCNU, baik tanfidziah-syuriah, muda-tua, sebelum mengetahui berita terbaru, beliau sudah terlebih dahulu mengetahuinya. 

    Dalam organisasi yang berlambang sembilan bintang mengitari bumi ini, beliau mendapatkan patner kerja yang serasi, yaitu Bpk. Rasyid AR, ketua tanfidziah PCNU Kraksaan. Bersama Pak Rasyid, beliau menempati posisi teras di PCNU Kraksaan selama dua periode. Bukti keserasian antara keduanya adalah kesediaan mereka untuk saling berkunjung ke kediaman masing-masing. Jika, Bpk Rasyid terlalu lama tidak berkunjung ke kediamannya, Kiai Hasan tak keberatan untuk menyambangi rumahnya. Begitu pun sebaliknya. Atas kesediaan Kiai Hasan berkunjung ke rumahnya, Bpk Rasyid pernah berkata kepada Kiai Hasan, “Kiai, saya ini tidak pantas jika harus dikunjungi Kiai Hasan. Karena seorang tanfidziah adalah santri.” Mendengar perkataan ini, Kiai Hasan langsung menegur, “antara tanfidziah dan syuriah itu harus menyatu.” Demikianlah, meski Kiai Hasan adalah seorang ulama, beliau tidak sungkan-sungkan untuk berkunjung ke rumah koleganya demi kemajuan organisasi NU. Selain itu, beliau juga selalu menjaga jalinan silaturrahmi dengan seluruh pengurus NU, baik di tingkat cabang, wakil cabang hingga ranting. Kunjungan yang sering beliau lakukan itu, adakalanya dalam rangka pembinaan, atau sekedar mengobrol biasa. Meski demikian, kehadiran beliau mempunyai nilai lain. Sehingga NU kala itu bisa jalan dengan solid dan baik. 

    Sebagai Ketua Syuriah NU, Kiai Hasan terkenal gigih memajukan wawasan keagamaan, baik terhadap pengurus NU atau pun masyarakat. Misalkan beliau berpendapat, jika ada masalah yang belum terpecahkan supaya diajukan ke cabang, dan akan ditindaklanjuti dengan diskusi. Kiai Hasan sendiri selalu berusaha untuk hadir. Sementara hasil dari diskusi akan dibukukan. Ini setiap satu bulan sekali diadakan. Selain itu, pada masa kepemimpinan Kiai Hasan, diadakan pula pengajian di setiap Majleis Wakil Cabang (MWC) dengan cara bergiliran. Adapun Kiainya terdiri dari Kiai-Kiai yang dipilih oleh peserta pengajian, di antaranya adalah Kiai Badri dan Kiai Hasan sendiri. Lebih jauh, sebagai ketua syuriah, beliau juga menganjurkan agar di masjid-masjid dikembangkan pengajian kitab S2 (sulam as-safinah). 

    Terhadap masyarakat, beliau selalu bersedia jika diundang untuk berdakwah, meski dalam kondisi kesehatan yang kurang baik. Dalam hal ini, Kiai Hasan selalu berpesan, bahwa jika diundang untuk menghadiri pengajian, jangan diukur dari materi yang diberikan. Tapi berjuang itu harus berani berkorban. Beliau juga terkenal sebagai seorang dermawan. Misalkan ketika memimpin NU, tak jarang beliau mengeluarkan uang pribadinya untuk biaya transportasi atau untuk urusan logistik. Selain itu, menjelang hari raya, biasanya beliau juga sering membagi-bagikan pakaian dan sarung, terutama kepada pengurus NU yang aktif. Kiai Hasan merupakan sosok ulama yang sangat mencintai NU. Ini beliau tunjukkan ketika kakak kandungnya, KH. Achmad Sufyan Miftahul Arifin yang mengajurkannya agar menjadi mursyid, karena alasan sikap kerasnya. Tapi Kiai Hasan menolak anjuran tersebut. Menurut Kiai Hasan, selama memimpin NU, beliau tidak bisa menjadi mursyid. “Biarkanlah saya NU saja, wirid-wiridnya, wirid NU saja, ” ujarnya. Kecintaan beliau ini kemudian ditularkan kepada santri-santrinya yang sudah memperoleh gelar sarjana. Kepada para santrinya, Kiai Hasan selalu menganjurkan agar aktif berjuang di NU. 

    *** 

    Dalam memimpin PCNU Kraksaan, Kiai Hasan selalu bersandarkan kepada aturan AD/ART yang telah ditetapkan PBNU. Beliau juga merupakan sosok pemimpin yang mengetahui detail sejarah perjalanan NU. Misalkan, NU itu lahirnya dari masyarakat, bukan dari pemerintah. Sehingga, beliau akan sangat marah jika NU mengadakan kegiatan, tapi pengurus NU tidak mengajak masyarakat. Ini diharapkan agar NU bisa independen terhadap pemerintah. 

    Mengenai dunia pendidikan, kepada Tanfidziah, Kiai Hasan menganjurkan agar Ahlussunnah wal Jama’ah (Aswaja) diajarkan mulai SD hingga Perguruan Tinggi (PT). Yang kedua, beliau juga berpesan agar putera-puteri NU itu paling sedikit memiliki ijazah Aliyah (MA). Adapun perguruan tinggi itu menurut kemampuan. Pendapat ini bertolak dari keprihatinan beliau melihat anak-anak NU yang hanya tamat belajar sebatas SMP, lebih-lebih SD. Selain itu, menurut Kiai Hasan, anak puteri NU yang hanya bisa sekolah sampai tingkat SMP misalkan, kemudian langsung diajak kawin, pengetahuan anak itu belum cukup untuk mengerti soal bagaimana menjadi istri yang baik. Kecuali bagi yang sudah pernah nyantri di pesantren. Bertolak dari hal di atas, wajar ketika Kiai Hasan meninggal, banyak orang yang merasa kehilangan terhadap sosok ulama yang ahli fiqh, organisatoris yang gigih dan pejuang yang ikhlas. 

    Shalawat Nahdliyyah merupakan shalawat yang terlahir dari rasa cintanya Kiai Hasan kepada NU. Di dalam shalawat itu disisipkan doa-doa agar siapapun yang membacanya menjadi orang yang bersemangat dalam berjuang menghidupakan dan meninggikan Islam dan menampakan syiar-syiar Islam dalam bingkai Jam’iyyah NU. Tak lupa doa untuk kemenangan NU dan Islam pun disematkan dalam shalawat tersebut.

    Tidak heran, KH Abdurrahman Wahid atau Gus Dur sangat ta’dzim kepada sosok Kiai Hasan, hingga ia memanggil Kiai Hasan dengan sapaan “Sayyidi-l-walid” (orang tua sendiri). Gus Dur dalam salah satu pidatonya pada tahun 2001 di Surabaya juga pernah menyatakan bahwa ada empat tokoh ulama di Jawa Timur yang tidak kuasa baginya untuk menolak perintahnya, yaitu: KH Imam Zarkasyi Djunaidi Banyuwangi (wafat 2001), KH Ahmad Sofyan Miftahul Arifin Situbondo (wafat 2012), KH Khotib Umar Jember (wafat 2014), dan KH Hasan Abdul Wafi sendiri (wafat 2000). 

    Pada Rabu 31 Juli 2000, KH Hasan Abdul Wafi wafat dan dimakamkan di lingkungan Pesantren Nurul Jadid, Paiton, Probolinggo, Jawa Timur, tidak jauh dari komplek pemakaman para kiai pengasuh Nurul Jadid.

    Ponirin Mika

    Ponirin Mika

    Artikel Sebelumnya

    Ciptakan Kader Militan, Fatayat NU Kraksaan...

    Artikel Berikutnya

    Perkuat Budaya Ilmiah Mahasiswa, LP3M Laksanakan...

    Berita terkait

    Rekomendasi

    Mengenal Lebih Dekat Koperasi
    Hendri Kampai: Hindari Terlalu Banyak Intervensi terhadap Kewenangan, Polri di Bawah Presiden Adalah Langkah Tepat
    Hendri Kampai: Utopia Indonesia, Irigasi Bagus dan Petani Bisa Panen Tiga Kali Dalam Setahun
    Hendri Kampai: Utopia Indonesia, Visi Indonesia Emas Namun Uang Kuliah Semakin Tak Terjangkau
    Hendri Kampai: Pemimpin Sejati Meninggalkan 'Legacy', Bukan Janji, Apalagi Hutang

    Ikuti Kami

    Berita Acak